Monday, July 13, 2015

KINI AKU TAHU



Buah Pena : Elok Wulansari 
 8H
    “Selamat Ulang Tahun Shaniaaa!!!” seruan itu begitu mengejutkanku dan berhasil memulangkan ku dari alam bawah sadar ke dunia nyata. Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, samar-samar kulihat Bunda, Natha, dan Kak Rendra berdiri tepat di samping
ranjang yang diselimuti bed cover berwarna biru laut ini dengan Bunda  ditengah sambil memegang kue tart berbentuk segiempat dengan susunan tiga susun yang diselimuti coklat blackforrest kesukaanku. Di tengah kue itu terdapat dua lilin yang membentuk angka 1 dan 5. Ya, membentuk angka 15. Karena hari ini, ulang tahun ku ke 15. “Ya ampuuunn terima kasih Bundaaa, Kak Rendraaa, Nathaannn” ucapku dengan haru. “Selamat Ulang Tahun kaak, semoga impian kakak tercapai, diberi kemudahan dalam belajar. Mmm terus apa lagi yaa…”
“ Jangan marah-marah terusss!! Trus jangan main sosmed mulu, nilai turun baru tau rasa kamu! “ Kata kak Rendra memotong kalimat Nathan. “Nahhh! Pokoknya yang baik-baik aja deh yaaa” Bunda menambahkan. “Aamiin.. aamiin semoga do’a kalian semua tercapai dehhh” “Oh iya, Ayah mana bu? Belum pulang juga? Masih ngurusin kerjaan yang di Maluku itu?” tanyaku dengan nada sewot.
Ya, Ayah memang selalu begitu. Selalu sibuk dengan pekerjaannya. Ayahku adalah seorang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. Ditambah dengan pangkatnya sebagai seorang Marsekal Madya seolah membuatnya benar-benar jarang sekali meluangkan waktunya untuk keluarga. “Ayah masih di Maluku, tapi tenang aja, nanti jam 2 Ayah terbang ke sini kok” Hibur Bunda dengan senyuman yang berhasil menyejukkan hatiku.
3 jam kemudian…..
*drrrttt drrttt* telepon genggamku bergetar dari balik saku celana jeans biru elektrikku itu. Dengan sigap aku mengambilnya. Ayah? Nelpon? Ada apa?
“Hallo Ayah..”
“Hallo Shania anak Ayahhh.. Selamat Ulang Tahun sayaanggg. Maafkan Ayah tidak bisa ada disampingmu sekarang. Tapi ini Ayah sedang berada di perjalanan menuju bandara buat terbang ke Jakarta kok. Oh iya kamu mau kado apa, Nak?” Ucap Ayah dengan suara berat tentara nya.
“Makasih Ayah, Shania tidak minta kado apa-apa kok, Ayah. Yang penting Ayah sampai di Jakarta dengan selamat dan bisa ngerayain ultah Shania nanti malam di rumah”
“Oh iya, tolong bilang ke Kak Rendra, ya. Nanti sore sekitar jam 5 suruh jemput Ayah di bandara”
“ Baik Ayah, nanti Shania sampaikan ke Kak Rendra”
    Lagi lagi Ayah telat memberi ucapan selamat ulang tahun. Memang, ucapan itu hanya sekedar sesuatu yang tidak harus ada. Yang terpenting ya, tetap do’anya. Tapi sebagai seorang anak yang masih normal, tentu aku sangat ingin mendapat ucapan yang tepat waktu ketika hari bersejarah ku tiba, bukan?. Kalau sudah begini aku hanya bisa terduduk di balkon rumahku. Melamun. Dengan tatapan kosong. Tanpa pikiran yang jelas. Kalau harus bercerita pada Bunda, ujung-ujung nya Bunda selalu menjawab dengan kalimat yang itu-itu saja. “Ayahmu itu kan seorang prajurit Negara. Ia juga berjuang buat Negara. Kamu tau kan? Tugas prajurit Negara? Mereka harus lebih mengedepankan tugas atau kepentingan Negara daripada keluarga. Lagipula kalau Ayah berhasil, siapa yang senang? Kalau Negara maju, siapa yang bangga? Kamu juga kan, Nak”. Selalu kalimat membosankan itu yang keluar dari mulut psikolog Bunda. Tapi bukankah apapun pekerjaan seseorang mereka tetap harus menomorsatukan keluarga? Ah, mungkin jalan fikiran Ayah berbeda.
“Woi! Jadi ikut jemput Ayah gak?” seru Kak Rendra mengejutkanku
“Jam berapa ini?” tanyaku sembari melirik ke arloji abu-abu yang melingkar di tangan kiriku
“16.30, perjalanan dari sini ke bandara paling gak makan waktu setengah jam, kan?”
“Aku gak jadi ikut deh, kak. Aku bantuin Bunda aja di rumah”
“ Ya udah, kakak minta temenin Natha aja deh”
    “Bun.. gimana persiapannya?” tanyaku pada Bunda yang sedang sibuk menata makanan di meja makan bersama Mbok Dharmi. “Alhamdulillah udah hampir selesai, Nak. Kakakmu sudah berangkat buat jemput Ayah, kan?” “Udah, kok. Shania gak jadi ikut. Shania mau bantu-bantu Bunda sama Mbok Dharmi aja” jawabku dengan senyum ramah. “Non Shaniaa, selamat ulang tahun yaa, semoga apa yang di cita-citakan Non tercapai, maaf Mbok Dharmi ndak bisa kasih apa-apa. Kemarin uang gajian dari Bunda Non baru Mbok kirimkan ke Anak Mbok di Jogja, ndak papa toh?” ucap  Mbok Dharmi tiba – tiba seraya menyalamiku. “Wah iya Mbok, makasih ya. Ah gak usah repot – repot. Cukup dapet ucapan aja Shania udah seneng kok”
“Assalamu’alaikuuuuummmm…. Akhirnya sampai di Jakarta dengan selamat”
“Wa’alaikumsalam Ayaaaahhhhhhh!!! Shania kangen Ayahh. Ayah jangan pergi-pergi lagi dong” teriakku memanja sembari memeluk Ayah.
“Ayah juga kangen sama anak Ayah yang paling cantikkk”
“Hhhh.. iyalah paling cantik, orang yang lainnya cowok” Kak Rendra menyambar sewot
“Hahahahhah. Loh tapi Ayah benar kan?” Kata Bunda mengadili perdebatan kecil ini
“Ya sudah, gimana kalo sekarang kita siap-siap buat Shalat Maghrib jama’ah? Ayah yang jadi Imam”
“Siap Ayahh!” jawab kami serentak
    Selesai berjama’ah Shalat Maghrib, semua berkumpul di Ruang Makan untuk merayakan ulang tahun ku yang ke 15 ini. Ini memang sudah menjadi tradisi di rumahku. jika ada satu anggota keluarga yang berulang tahun selalu dirayakan dengan makan bersama seperti ini. Setelah salah satu dari anggota keluarga memimpin do’a, makan besar pun dimulai. Kali ini, Ayah lah yang memimpin do’a.
*drrrttddrrtt* Tiba-tiba telepon genggam berwarna hitam metalik Ayah berbunyi di atas meja. Bak perjalanan anak pramuka di tengah hutan yang melihat pohon tumbang di depan mereka, seisi meja makan pun menghentikan makannya dan semua mata tertuju ke Ayah.
“sebentar ya, Ayah pamit mau mengangkat telepon dulu, kalian silahkan lanjut makannya”
Ayah Nampak pergi meninggalkan meja makan menuju pinggiran kolam renang, seisi meja makan melanjutkan makannya. Terkecuali aku, pandanganku terus mengekor kemana Ayah bergerak. Perasaanku mulai tidak enak. Aku mencoba menenangkan dengan meneguk air putih yang ada di depanku kemudian melanjutkan makanku. 5 menit kemudian Ayah kembali ke meja makan dengan wajah yang sangat lesu. “Ada apa, yah?” tanya Bunda penasaran melihat wajah Ayah yang mendadak lesu. Ayah menarik napas dalam-dalam dan menghebuskannya perlahan. “Barusan telepon dari rekan kerja di lapangan, beliau bilang, Ayah harus secepatnya kembali ke Ternate. Karena siswa-siswa Sekolah Penerbangan yang akan berlatih dengan Ayah sudah tiba di Asrama. Ayah lupa memberitahu bahwa latihan diundur lusa.” Entah reflek atau apa. Tiba-tiba aku membanting sendok dan garpuku ke atas piring hingga menghasilkan bunyi yang tidak pelan. Dan bunyi itu berhasil membuat semua pasang mata tertuju ke arahku. “Jadi, Ayah harus kembali ke Maluku?” tanyaku dengan nada sedikit kesal. “Mau tidak mau begitu, Nak. Ya sudah Ayah siap-siap dulu, Ya.” “Ayah aku ikut!” “Shania? Gimana sekolahmu kalau kamu ikut Ayah?” tanya Kak Rendra. “Ah sekolah gak penting, pokoknya aku mau ikut Ayah!” “Ya sudah, sekarang kamu kemas-kemas barangmu dulu. 25 menit lagi kita terbang ke Maluku”
    Singkat cerita aku sudah sampai di Pulau yang sangat asing bagiku. Maluku. Aku tidak tahu mengapa aku begitu nekat untuk mengambil keputusan ini. Mengikuti Ayah bertugas ke Maluku yang jelas-jelas disini tidak ada orang yang ku kenal selain Ayah. Aku transit di Asrama TNI tempat Ayah biasa tinggal di daerah Maluku. Aih, bangunan ini sungguh menyeramkan. Dengan bangunan bercorak Belanda dan warna tembok biru langit khas tentara angkatan udara seolah mengingatkanku pada film dokumenter yang ku tonton bersama di ruang kelas sekolah saat guru mapel tidak masuk. “Ayah ke lapangan dulu, Nak. Kalau kamu mau bosan disini kamu bisa ke lapangan belakang. Di depan asrama ada denahnya, kok” ucap Ayah dengan terus membenarkan posisi topi nya. Apa? Malam hari begini saja tentara masih berlatih? Sungguh tidak tahu lelah para tentara ini. Dengan sigap aku mengekori langkah Ayah menuju lapangan belakang. Tampak ramai. Penuh dengan jajaran siswa-siswa Sekolah Penerbangan yang gagah dengan seragamnya. Aku duduk di salah satu pos yang ada di pinggir lapangan. Suara derap langkah para tamtama yang sedang berlatih tak pernah lepas dari pendengaran ini. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah barisan manusia yang berjajar rapi bernama tentara. Bangunan-bangunan khas militer pun berjajar dimana-mana. Gedung-gedung akademi militer berjajar di sepanjang jalan ke lapangan ini. Membuat aku seolah hanyut di dunia militer angkatan udara ini.
    Sudah 2 jam lebih aku duduk di pos ini. Sepertinya latihan sudah selesai. Kulihat wajah dari para siswa-siswa Sekolah Udara itu tampak sumringah. Seperti seorang pengangguran yang terbebas dari hutang rentenir. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa mereka begitu bahagia. “Ngapain sih? kok pada sumringah gitu? Abis latihan tuh harusnya capek bukan senyum-senyum gitu. Aneh ih” tanpa sadar aku berbicara sendiri melihat ekspresi wajah siswa-siswa Sekolah Penerbangan itu.
“Mereka baru saja lulus dari Ujian Praktek untuk Kelulusan mereka. Wajar saja kalau wajah mereka Nampak sumringah” ucap seseorang dengan suara berat dan logat Bataknya.
“Anda siapa?” tanyaku penasaran dengan orang yang tiba-tiba menjawab omonganku
“Saya Agam. Rekan kerja Ayahmu. Kamu putrinya Adrian kan?”
“Iya, saya putrinya, ngomong-ngomong kok mereka Ujian Praktek segala sih, Pak? Kan udah UN” tanyaku penasaran
“Mereka memang harus Ujian Praktek supaya memenuhi standar kelulusan di Sekolah Penerbangan Bima Nusantara Ternate ini. Kalau mereka tidak mengikuti ujian ini. Otomatis lah mereka tidak lulus. Oleh karenanya, Ayahmu sangat berarti bagi mereka. Karena Cuma Ayahmu yang berhak melatih mereka di Ujian Praktek ini.”
“Saya tahu dan saaaangat paham bagaimana perasaan kamu yang selalu ditinggal sama Ayahmu. Anak saya juga sama sepertimu, sama-sama marah-marah kalau saya tinggal. Tapi perlu kamu ketahui, Nak, Kehadiran Ayahmu disini adalah cahaya penerang bagi mereka. Yang artinya Ayahmu sangat berarti bagi mereka. Bagi generasi tentara Negara kita. Indonesia.” Terang Pak Agam panjang lebar
    Penjelasan panjang lebar Pak Agam berhasil menyadarkanku. Ternyata kehadiran Ayah sangat berarti bagi mereka. Ayah bagaikan setetes air yang ada di tengah gurun pasir luas. Sangat bermakna. Pantas saja Ayah selalu mengedepankan kepentingan pekerjaannya daripada keluarga. Ini baru satu dari sekian banyak contoh alasan kenapa Ayah lebih mengedepankan kepentingan pekerjaan keluarga. Kini, aku sadar, tidak seharusnya aku bersikap seperti yang sudah-sudah kepada Ayah. Walau bagaimanapun, Ayah seperti ini untuk siapa? Untuk kesejahteraan keluarga juga, Bukan?.
“Shania, kamu dari tadi disini?” tanya Ayah padaku
“Iya, Ayah. Dari tadi Shania nonton Ayah ngelatih siswa-siswa itu”
“Jadi, apa yang kamu simpulkan setelah melihat kegiatan Ayah barusan?” tanya Ayah seolah mengerti tujuanku kesini. Untuk mengetahui apa sebenarnya kegiatan Ayah disini.

“Shania sadar, ternyata kehadiran Ayah bagi mereka seperti menemukan ikan yang langka di dasar lautan yang amaaaat dalam. Sangat berarti. Tanpa Ayah mereka tidak bisa lulus tahun ini, bukan? Sekarang Shania gak akan lagi nuduh yang enggak-enggak ke Ayah. Shania udah paham yang sebenernya.”
“Bagus lah kalau kamu sadar. Jadi, kapan kita mau balik ke Jakarta? Hmm bagaimana sebagai hadiah ulang tahunmu, Ayah ajak kamu berlibur disini selama beberapa hari? Izin sekolah biar Ayah yang urus”
“Mau yaaah, Shania mau bangettt”
    Ternyata tidak semua yang aku anggap hitam adalah hitam. Ada satu titik yang sebelumnya kuanggap hitam ternyata putih. Ya, yang sebelumnya aku pikir Ayah meninggalkan keluarga hanya demi kepentingan materi semata, ternyata aku salah besar. Ternyata Ayah meninggalkan keluarga sedemikian seringnya itu semua demi kepentingan banyak pihak. Aku bangga punya Ayah. Satu lagi, jangan sampai kamu memilih untuk tetap diam di tempatmu jika apabila kamu bergerak kamu akan menemukan permata yang tiada duanya di dunia. Bergeraklah. Jangan ragu. Walau sulit. Walau mustahil. Semua akan indah jika kita mau berusaha.

No comments:

Post a Comment