Buah Pena : Elok Wulansari
“Selamat Ulang
Tahun Shaniaaa!!!” seruan itu begitu mengejutkanku dan berhasil memulangkan ku
dari alam bawah sadar ke dunia nyata. Dengan mata yang belum sepenuhnya
terbuka, samar-samar kulihat Bunda, Natha, dan Kak Rendra berdiri tepat di
samping
ranjang yang diselimuti bed cover berwarna biru laut ini dengan Bunda ditengah sambil memegang kue tart berbentuk segiempat dengan susunan tiga susun yang diselimuti coklat blackforrest kesukaanku. Di tengah kue itu terdapat dua lilin yang membentuk angka 1 dan 5. Ya, membentuk angka 15. Karena hari ini, ulang tahun ku ke 15. “Ya ampuuunn terima kasih Bundaaa, Kak Rendraaa, Nathaannn” ucapku dengan haru. “Selamat Ulang Tahun kaak, semoga impian kakak tercapai, diberi kemudahan dalam belajar. Mmm terus apa lagi yaa…”
ranjang yang diselimuti bed cover berwarna biru laut ini dengan Bunda ditengah sambil memegang kue tart berbentuk segiempat dengan susunan tiga susun yang diselimuti coklat blackforrest kesukaanku. Di tengah kue itu terdapat dua lilin yang membentuk angka 1 dan 5. Ya, membentuk angka 15. Karena hari ini, ulang tahun ku ke 15. “Ya ampuuunn terima kasih Bundaaa, Kak Rendraaa, Nathaannn” ucapku dengan haru. “Selamat Ulang Tahun kaak, semoga impian kakak tercapai, diberi kemudahan dalam belajar. Mmm terus apa lagi yaa…”
“ Jangan marah-marah terusss!!
Trus jangan main sosmed mulu, nilai turun baru tau rasa kamu! “ Kata kak Rendra
memotong kalimat Nathan. “Nahhh! Pokoknya yang baik-baik aja deh yaaa” Bunda
menambahkan. “Aamiin.. aamiin semoga do’a kalian semua tercapai dehhh” “Oh iya,
Ayah mana bu? Belum pulang juga? Masih ngurusin kerjaan yang di Maluku itu?”
tanyaku dengan nada sewot.
Ya, Ayah memang selalu begitu.
Selalu sibuk dengan pekerjaannya. Ayahku adalah seorang Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Udara. Ditambah dengan pangkatnya sebagai seorang Marsekal
Madya seolah membuatnya benar-benar jarang sekali meluangkan waktunya untuk
keluarga. “Ayah masih di Maluku, tapi tenang aja, nanti jam 2 Ayah terbang ke
sini kok” Hibur Bunda dengan senyuman yang berhasil menyejukkan hatiku.
3 jam kemudian…..
*drrrttt drrttt* telepon
genggamku bergetar dari balik saku celana jeans biru elektrikku itu. Dengan
sigap aku mengambilnya. Ayah? Nelpon? Ada apa?
“Hallo Ayah..”
“Hallo Shania anak Ayahhh..
Selamat Ulang Tahun sayaanggg. Maafkan Ayah tidak bisa ada disampingmu
sekarang. Tapi ini Ayah sedang berada di perjalanan menuju bandara buat terbang
ke Jakarta kok. Oh iya kamu mau kado apa, Nak?” Ucap Ayah dengan suara berat
tentara nya.
“Makasih Ayah, Shania tidak minta
kado apa-apa kok, Ayah. Yang penting Ayah sampai di Jakarta dengan selamat dan
bisa ngerayain ultah Shania nanti malam di rumah”
“Oh iya, tolong bilang ke Kak
Rendra, ya. Nanti sore sekitar jam 5 suruh jemput Ayah di bandara”
“ Baik Ayah, nanti Shania
sampaikan ke Kak Rendra”
Lagi lagi Ayah
telat memberi ucapan selamat ulang tahun. Memang, ucapan itu hanya sekedar
sesuatu yang tidak harus ada. Yang terpenting ya, tetap do’anya. Tapi sebagai
seorang anak yang masih normal, tentu aku sangat ingin mendapat ucapan yang
tepat waktu ketika hari bersejarah ku tiba, bukan?. Kalau sudah begini aku
hanya bisa terduduk di balkon rumahku. Melamun. Dengan tatapan kosong. Tanpa
pikiran yang jelas. Kalau harus bercerita pada Bunda, ujung-ujung nya Bunda
selalu menjawab dengan kalimat yang itu-itu saja. “Ayahmu itu kan seorang
prajurit Negara. Ia juga berjuang buat Negara. Kamu tau kan? Tugas prajurit
Negara? Mereka harus lebih mengedepankan tugas atau kepentingan Negara daripada
keluarga. Lagipula kalau Ayah berhasil, siapa yang senang? Kalau Negara maju,
siapa yang bangga? Kamu juga kan, Nak”. Selalu kalimat membosankan itu yang
keluar dari mulut psikolog Bunda. Tapi bukankah apapun pekerjaan seseorang
mereka tetap harus menomorsatukan keluarga? Ah, mungkin jalan fikiran Ayah
berbeda.
“Woi! Jadi ikut jemput Ayah gak?”
seru Kak Rendra mengejutkanku
“Jam berapa ini?” tanyaku sembari
melirik ke arloji abu-abu yang melingkar di tangan kiriku
“16.30, perjalanan dari sini ke
bandara paling gak makan waktu setengah jam, kan?”
“Aku gak jadi ikut deh, kak. Aku
bantuin Bunda aja di rumah”
“ Ya udah, kakak minta temenin
Natha aja deh”
“Bun.. gimana
persiapannya?” tanyaku pada Bunda yang sedang sibuk menata makanan di meja
makan bersama Mbok Dharmi. “Alhamdulillah udah hampir selesai, Nak. Kakakmu
sudah berangkat buat jemput Ayah, kan?” “Udah, kok. Shania gak jadi ikut.
Shania mau bantu-bantu Bunda sama Mbok Dharmi aja” jawabku dengan senyum ramah.
“Non Shaniaa, selamat ulang tahun yaa, semoga apa yang di cita-citakan Non
tercapai, maaf Mbok Dharmi ndak bisa kasih apa-apa. Kemarin uang gajian
dari Bunda Non baru Mbok kirimkan ke Anak Mbok di Jogja, ndak papa toh?”
ucap Mbok Dharmi tiba – tiba seraya menyalamiku. “Wah iya Mbok, makasih
ya. Ah gak usah repot – repot. Cukup dapet ucapan aja Shania udah seneng kok”
“Assalamu’alaikuuuuummmm….
Akhirnya sampai di Jakarta dengan selamat”
“Wa’alaikumsalam Ayaaaahhhhhhh!!!
Shania kangen Ayahh. Ayah jangan pergi-pergi lagi dong” teriakku memanja
sembari memeluk Ayah.
“Ayah juga kangen sama anak Ayah
yang paling cantikkk”
“Hhhh.. iyalah paling cantik,
orang yang lainnya cowok” Kak Rendra menyambar sewot
“Hahahahhah. Loh tapi Ayah benar
kan?” Kata Bunda mengadili perdebatan kecil ini
“Ya sudah, gimana kalo sekarang
kita siap-siap buat Shalat Maghrib jama’ah? Ayah yang jadi Imam”
“Siap Ayahh!” jawab kami serentak
Selesai
berjama’ah Shalat Maghrib, semua berkumpul di Ruang Makan untuk merayakan ulang
tahun ku yang ke 15 ini. Ini memang sudah menjadi tradisi di rumahku. jika ada
satu anggota keluarga yang berulang tahun selalu dirayakan dengan makan bersama
seperti ini. Setelah salah satu dari anggota keluarga memimpin do’a, makan
besar pun dimulai. Kali ini, Ayah lah yang memimpin do’a.
*drrrttddrrtt* Tiba-tiba telepon
genggam berwarna hitam metalik Ayah berbunyi di atas meja. Bak perjalanan anak
pramuka di tengah hutan yang melihat pohon tumbang di depan mereka, seisi meja
makan pun menghentikan makannya dan semua mata tertuju ke Ayah.
“sebentar ya, Ayah pamit mau
mengangkat telepon dulu, kalian silahkan lanjut makannya”
Ayah Nampak pergi meninggalkan
meja makan menuju pinggiran kolam renang, seisi meja makan melanjutkan
makannya. Terkecuali aku, pandanganku terus mengekor kemana Ayah bergerak.
Perasaanku mulai tidak enak. Aku mencoba menenangkan dengan meneguk air putih
yang ada di depanku kemudian melanjutkan makanku. 5 menit kemudian Ayah kembali
ke meja makan dengan wajah yang sangat lesu. “Ada apa, yah?” tanya Bunda
penasaran melihat wajah Ayah yang mendadak lesu. Ayah menarik napas dalam-dalam
dan menghebuskannya perlahan. “Barusan telepon dari rekan kerja di lapangan,
beliau bilang, Ayah harus secepatnya kembali ke Ternate. Karena siswa-siswa
Sekolah Penerbangan yang akan berlatih dengan Ayah sudah tiba di Asrama. Ayah
lupa memberitahu bahwa latihan diundur lusa.” Entah reflek atau apa. Tiba-tiba
aku membanting sendok dan garpuku ke atas piring hingga menghasilkan bunyi yang
tidak pelan. Dan bunyi itu berhasil membuat semua pasang mata tertuju ke
arahku. “Jadi, Ayah harus kembali ke Maluku?” tanyaku dengan nada sedikit
kesal. “Mau tidak mau begitu, Nak. Ya sudah Ayah siap-siap dulu, Ya.” “Ayah aku
ikut!” “Shania? Gimana sekolahmu kalau kamu ikut Ayah?” tanya Kak Rendra. “Ah
sekolah gak penting, pokoknya aku mau ikut Ayah!” “Ya sudah, sekarang kamu
kemas-kemas barangmu dulu. 25 menit lagi kita terbang ke Maluku”
Singkat cerita
aku sudah sampai di Pulau yang sangat asing bagiku. Maluku. Aku tidak tahu
mengapa aku begitu nekat untuk mengambil keputusan ini. Mengikuti Ayah bertugas
ke Maluku yang jelas-jelas disini tidak ada orang yang ku kenal selain Ayah.
Aku transit di Asrama TNI tempat Ayah biasa tinggal di daerah Maluku. Aih,
bangunan ini sungguh menyeramkan. Dengan bangunan bercorak Belanda dan warna
tembok biru langit khas tentara angkatan udara seolah mengingatkanku pada film
dokumenter yang ku tonton bersama di ruang kelas sekolah saat guru mapel tidak
masuk. “Ayah ke lapangan dulu, Nak. Kalau kamu mau bosan disini kamu bisa ke
lapangan belakang. Di depan asrama ada denahnya, kok” ucap Ayah dengan terus
membenarkan posisi topi nya. Apa? Malam hari begini saja tentara masih
berlatih? Sungguh tidak tahu lelah para tentara ini. Dengan sigap aku mengekori
langkah Ayah menuju lapangan belakang. Tampak ramai. Penuh dengan jajaran
siswa-siswa Sekolah Penerbangan yang gagah dengan seragamnya. Aku duduk di
salah satu pos yang ada di pinggir lapangan. Suara derap langkah para tamtama
yang sedang berlatih tak pernah lepas dari pendengaran ini. Sejauh mata
memandang yang terlihat hanyalah barisan manusia yang berjajar rapi bernama
tentara. Bangunan-bangunan khas militer pun berjajar dimana-mana. Gedung-gedung
akademi militer berjajar di sepanjang jalan ke lapangan ini. Membuat aku seolah
hanyut di dunia militer angkatan udara ini.
Sudah 2 jam
lebih aku duduk di pos ini. Sepertinya latihan sudah selesai. Kulihat wajah
dari para siswa-siswa Sekolah Udara itu tampak sumringah. Seperti seorang
pengangguran yang terbebas dari hutang rentenir. Apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa mereka begitu bahagia. “Ngapain sih? kok pada sumringah gitu? Abis
latihan tuh harusnya capek bukan senyum-senyum gitu. Aneh ih” tanpa sadar aku
berbicara sendiri melihat ekspresi wajah siswa-siswa Sekolah Penerbangan itu.
“Mereka baru saja lulus dari
Ujian Praktek untuk Kelulusan mereka. Wajar saja kalau wajah mereka Nampak
sumringah” ucap seseorang dengan suara berat dan logat Bataknya.
“Anda siapa?” tanyaku penasaran
dengan orang yang tiba-tiba menjawab omonganku
“Saya Agam. Rekan kerja Ayahmu.
Kamu putrinya Adrian kan?”
“Iya, saya putrinya,
ngomong-ngomong kok mereka Ujian Praktek segala sih, Pak? Kan udah UN” tanyaku
penasaran
“Mereka memang harus Ujian
Praktek supaya memenuhi standar kelulusan di Sekolah Penerbangan Bima Nusantara
Ternate ini. Kalau mereka tidak mengikuti ujian ini. Otomatis lah mereka tidak
lulus. Oleh karenanya, Ayahmu sangat berarti bagi mereka. Karena Cuma Ayahmu
yang berhak melatih mereka di Ujian Praktek ini.”
“Saya tahu dan saaaangat paham
bagaimana perasaan kamu yang selalu ditinggal sama Ayahmu. Anak saya juga sama
sepertimu, sama-sama marah-marah kalau saya tinggal. Tapi perlu kamu ketahui,
Nak, Kehadiran Ayahmu disini adalah cahaya penerang bagi mereka. Yang artinya
Ayahmu sangat berarti bagi mereka. Bagi generasi tentara Negara kita.
Indonesia.” Terang Pak Agam panjang lebar
Penjelasan
panjang lebar Pak Agam berhasil menyadarkanku. Ternyata kehadiran Ayah sangat
berarti bagi mereka. Ayah bagaikan setetes air yang ada di tengah gurun pasir
luas. Sangat bermakna. Pantas saja Ayah selalu mengedepankan kepentingan
pekerjaannya daripada keluarga. Ini baru satu dari sekian banyak contoh alasan
kenapa Ayah lebih mengedepankan kepentingan pekerjaan keluarga. Kini, aku
sadar, tidak seharusnya aku bersikap seperti yang sudah-sudah kepada Ayah.
Walau bagaimanapun, Ayah seperti ini untuk siapa? Untuk kesejahteraan keluarga
juga, Bukan?.
“Shania, kamu dari tadi disini?”
tanya Ayah padaku
“Iya, Ayah. Dari tadi Shania
nonton Ayah ngelatih siswa-siswa itu”
“Jadi, apa yang kamu simpulkan
setelah melihat kegiatan Ayah barusan?” tanya Ayah seolah mengerti tujuanku
kesini. Untuk mengetahui apa sebenarnya kegiatan Ayah disini.
“Shania sadar, ternyata kehadiran
Ayah bagi mereka seperti menemukan ikan yang langka di dasar lautan yang
amaaaat dalam. Sangat berarti. Tanpa Ayah mereka tidak bisa lulus tahun ini,
bukan? Sekarang Shania gak akan lagi nuduh yang enggak-enggak ke Ayah. Shania
udah paham yang sebenernya.”
“Bagus lah kalau kamu sadar.
Jadi, kapan kita mau balik ke Jakarta? Hmm bagaimana sebagai hadiah ulang
tahunmu, Ayah ajak kamu berlibur disini selama beberapa hari? Izin sekolah biar
Ayah yang urus”
“Mau yaaah, Shania mau bangettt”
Ternyata tidak
semua yang aku anggap hitam adalah hitam. Ada satu titik yang sebelumnya
kuanggap hitam ternyata putih. Ya, yang sebelumnya aku pikir Ayah meninggalkan
keluarga hanya demi kepentingan materi semata, ternyata aku salah besar.
Ternyata Ayah meninggalkan keluarga sedemikian seringnya itu semua demi
kepentingan banyak pihak. Aku bangga punya Ayah. Satu lagi, jangan sampai kamu
memilih untuk tetap diam di tempatmu jika apabila kamu bergerak kamu akan
menemukan permata yang tiada duanya di dunia. Bergeraklah. Jangan ragu. Walau
sulit. Walau mustahil. Semua akan indah jika kita mau berusaha.
No comments:
Post a Comment